“Devil’s Advocate Theory” Baik Atau Buruk Untuk Diterapkan?

Devil's Advocate Theory Baik Atau Buruk Untuk Diterapkan
Photo by Maksym Vlasenko on Unsplash

Banyak orang yang percaya bahwa konflik adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Tapi apakah hal itu sepenuhnya adalah sesuatu yang tepat?.

Konflik seringkali dianggap sebagai sumber perpecahan dalam suatu hubungan atau kelompok yang terdiri dari beberapa atau banyak orang. Kita ambil contoh dalam suatu organisasi, untuk mendapatkan keputusan biasanya akan diadakan suatu rapat untuk membahas masalah atau tujuan guna mendapatkan jawaban atau hasil keputusan yang akan dikerjakan. Rata-rata selalu berpikir suatu keputusan harus diambil untuk mencapai kesepakatan berdasar dari banyak pemikiran orang yang terlibat didalamnya.

Tetapi bukankah suatu konflik dan perdebatan yang terjadi didalamnya memang selalu ada dalam suatu kelompok?, pertanyaannya adalah bagaimana jika konflik itu tidak pernah terjadi?.

Ada satu cerita lama dalam perusahaan General Motors tentang Alfred Sloan. Dalam pertemuan rahasia dengan para eksekutif perusahaan, Alfred Sloan mengusulkan strategi untuk dikerjakan namun usulan itu sangat kontroversi. Tapi ternyata para eksekutif justru setuju dengan ide yang ditawarkan, dan semua menanggapinya dengan berbagai pujian positif.

Yang aneh justru setelah idenya disetujui, Alfred Sloan menyatakan dia tidak akan mengerjakan strategi yang diusulkannya, dengan alasan dia tidak bisa memperkirakan kerugian yang akan ditimbulkan serta takut akan timbul kekacauan dalam perusahaan. Alfred Sloan pun menunda keputusannya, sambil menunggu terjadi perdebatan serta pro dan kontra diantara para eksekutif lain. Harapannya dengan terjadi konflik, para eksekutif lain akan memberikan ide atau strategi baru.

Konflik meskipun kerap kali dijauhi, namun tidak selalu buruk. Faktanya, konflik ada kalanya harus dibuat terjadi dalam suatu kelompok untuk mendorong keterbukaan dan ide baru, serta menghindari seseorang didalamnya hanya menjadi sebagai peserta figuran. Di awal bergabung dalam kelompok hal itu bisa dilumrahi, tetapi jika sudah terlibat lama bukankah seharusnya ada peranan yang lebih besar.

Kuncinya adalah mempelajari bagaimana membuat dan mengelola konflik secara efektif sehingga dapat berfungsi sebagai katalisator, bukan justru jadi penghalang untuk peningkatan kinerja. Dengan pengelolaan manajemen konflik yang baik, akan banyak muncul gagasan yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Selain itu, konflik seharusnya membuat seseorang yang terlibat dalam kelompok menjadi lebih bertanggung jawab, bahwa dia harus berperan dalam proses kinerja kelompoknya. Tidak cukup hanya dengan bilang ‘iya’ atau ‘tidak’ tanpa punya inisiatif.

Devil’s Advocate Theory

Devil's Advocate Theory Baik Atau Buruk Untuk Diterapkan
Photo by Maksym Vlasenko on Unsplash

“Devil’s Advocate Theory” dijabarkan secara terperinci dan sudah cukup lama oleh psikolog ternama asal Amerika, Irving Janis. Dia mengatakan bahwa seseorang atau sub-kelompok dapat secara resmi ditunjuk sebagai pembuat konflik dan hadir sebagai kritikus untuk menunjukkan terjadinya jebakan suatu keputusan serta menghindari kesepakatan yang justru menjadi tambahan masalah.

Sejarah & Asal-Usulnya

Devil's Advocate Theory Baik Atau Buruk Untuk Diterapkan
Photo by Alessio Zaccaria on Unsplash

Awal istilah ‘Devil’s Advocate’ berasal dari Gereja Katolik Roma, dimana seorang Santo ‘Saint’ yang secara kritis memeriksa sejarah kehidupan seseorang yang diusulkan untuk proses kanonisasi. Seorang Santo tersebut saat itu disebut sebagai Devil’s Advocate (Pengacara Iblis) karena bisa memberikan fakta mencakup banyak hal yang tidak menguntungkan calon atau kandidat.

Disadur dari Forbes, penelitian terhadap segala upaya bentuk inovasi menemukan bahwa dengan adanya Devil’s Advocate yang bertanggung jawab untuk mengajukan pertanyaan dengan cara yang konstruktif sangat penting untuk proses menuju kesuksesan. Ada 3 konsep utama dalam “Devil’s Advocate Theory” yang efektif.

1. Devil’s Advocate harus fokus pada prosedur eksplisit untuk memulainya.

Mereka yang ingin suatu gagasan dilanjutkan akan menolak Devil’s Advocate, karena takut hal itu akan memperlambat atau mematikan suatu proyek yang sudah berjalan. Sedangkan mereka yang menentang ide atau gagasan akan mendukung Devil’s Advocate. Kedua belah pihak akan mencoba melakukan banyak cara untuk keuntungan masing-masing. Dengan kejadian tersebut maka diperlukan sebuah aturan main yang dijadikan metode untuk menyelesaikan masalah.

2. Tujuan dari Devil’s Advocate harus dalam ruang lingkup yang benar.

Hal ini tidak boleh tentang cara menghentikan suatu proyek, bahkan tidak untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada didalamnya. Karena jika sampai itu terjadi, justru hanya menambah ketegangan diantara kedua belah atau beberapa pihak yang terlibat.

3. Devil’s Advocate harus bekerja secara konstruktif selama proses inovasi dan bukan menjadi inkuisisi.

Suatu program atau keputusan Devil’s Advocate dapat mengambil beberapa bentuk keputusan tetapi tidak berdasarkan secara pribadi, harus menjadi bagian dari keputusan organisasi. Peran sebagai kritikus harus dirotasi diantara anggota supaya mereka dapat meningkatkan ketrampilan dan kemampuan penelitian dalam menganalisa masalah serta solusi yang dicari.

Kesimpulan

Devil's Advocate Theory Baik Atau Buruk Untuk Diterapkan
Photo by Samuele Giglio on Unsplash

Dapat diartikan secara singkat Devil’s Advocate adalah seseorang yang menempatkan dirinya secara berlawanan dengan suatu argumen yang disajikan orang lain, tapi bukan karena tidak setuju dengan argumen tersebut, melainkan ingin menguji dan mengetahui keabsahan atau validitas dari argumen tersebut.

Seorang Devil’s Advocate juga harus jeli melihat suatu kondisi dan disaat tertentu membuat konflik yang akan menimbulkan aksi dan reaksi didalam suatu kelompok. Hal itu bertujuan agar muncul gagasan guna mencapai kesuksesan dan tidak tidak terjadi dominasi dalam suatu proses. Walaupun dalam kondisi sebenarnya tindakan dominasai tetap sering terjadi karena perbedaan sumber daya atau ‘level’ yang dimiliki setiap anggota.

Bagaimana dengan kalian yang saat ini tergabung dalam suatu kelompok atau organisasi, seringnya kalian berperan sebagai apa? atau siapa?.